Beberapa tahun ini, marak perbincangan tentang terjadinya perbedaan hari lebaran. Bukan hari lebaran saja, tetapi awal puasa dan hari raya kurban juga. Dua ormas besar Islam merupakan pelaku utama perbedaan tersebut. Muhammadiyah menentukan awal bulan dengan hisab wujudul hilal, sedang Nahdlatul Ulama menggunakan rukyah. Perbedaan metode penentuan ini sering menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan qamariah.
Ormas Islam bahkan ada yang punya metode tersendiri sehingga mengakibatkan perbedaan penentuan awal bulan semakin banyak.
Ormas Islam bahkan ada yang punya metode tersendiri sehingga mengakibatkan perbedaan penentuan awal bulan semakin banyak.
Perbedaan ini menyebabkan kekacauan dalam masyarakat, terkadang sampai kepada pertengkaran. Selain itu ketidakpastian dalam penentuan awal bulan, terutama lebaran, berpengaruh terdapat ekonomi dan sosial masyarakat.
Atas dasar tersebut pemerintah mengajak para ahli dalam kajian ilmu falak untuk melakukan pertemuan-pertemuan untuk menyatukan kalender hijriyah. Alasannya sederhana, jika kalender hijriyah disatukan maka kekacauan di atas dapat disingkirkan. Lebih lanjut diharapkan umat Islam dapat bersatu dan memiliki Kalender Qamariyah yang mapan untuk menggapai peradaban yang tinggi.
Tapi, mari kita pikir ulang solusi tersebut. Penyatuan kalender hijriyah bukan hal yang mudah. Persatuan apa yang sebenarnya diinginkan? Penyatuan pendapat atau penyatuan kebijakan. Jika yang diinginkan adalah penyatuan pendapat, maka dalam hal ini harus diselesaikan secara fiqhiyyah, bukan secara astronomis dan sains. Secara astronomis dan sains Muhammadiyah dan NU tidak berbeda dalam memahami fenomena alam tersebut. Perhitungan yang dibuat keduanya pun sudah mencapai tingkat akurasi yang sama. Permasalahannya terletak pada pemahaman hadis shumu lirukyatihi waafthiruu lirukyatihi. Sehingga perbedaan sejati terletak pada kajian fiqhiyyah maupun kajian usul fiqhnya. Sehingga penyatuan pendapat tidak akan terjadi hanya dengan mengumpulkan ahli falak saja, tetapi juga harus mengumpulkan para pakar di bidang fiqh dan usul fiqh dari kedua Ormas besar itu. Sekali lagi, perbedaan pandangan dalam penentuan awal bulan terletak pada fiqh dan usul fiqhnya, bukan dari sisi astronomis maupun sains.
Tapi, mari kita pikir ulang solusi tersebut. Penyatuan kalender hijriyah bukan hal yang mudah. Persatuan apa yang sebenarnya diinginkan? Penyatuan pendapat atau penyatuan kebijakan. Jika yang diinginkan adalah penyatuan pendapat, maka dalam hal ini harus diselesaikan secara fiqhiyyah, bukan secara astronomis dan sains. Secara astronomis dan sains Muhammadiyah dan NU tidak berbeda dalam memahami fenomena alam tersebut. Perhitungan yang dibuat keduanya pun sudah mencapai tingkat akurasi yang sama. Permasalahannya terletak pada pemahaman hadis shumu lirukyatihi waafthiruu lirukyatihi. Sehingga perbedaan sejati terletak pada kajian fiqhiyyah maupun kajian usul fiqhnya. Sehingga penyatuan pendapat tidak akan terjadi hanya dengan mengumpulkan ahli falak saja, tetapi juga harus mengumpulkan para pakar di bidang fiqh dan usul fiqh dari kedua Ormas besar itu. Sekali lagi, perbedaan pandangan dalam penentuan awal bulan terletak pada fiqh dan usul fiqhnya, bukan dari sisi astronomis maupun sains.
Menyatukan pendapat antara kedua ormas tersebut, menurut penulis, sangat sulit mengingat titik perbedaan terletak pada bidang fiqh yang terkait dengan halal-haram maupun sah-tidaknya amal ibadah. Terlebih lagi perbedaan tersebut berdasar kepada bagaimana cara menggali hukum yang didapatkan dari sumber-sumber Islam yang ada (perbedaan tersebut berdasar kepada klausul usul fiqh yang berbeda antara Muhammadiyah dan NU).
Adapun penyatuan kalender hijriyah sebagai kebijakan pemerintah pun sulit untuk diterapkan. Hal ini karena lemahnya sanksi pemerintah kepada masyarakat yang tidak mengikuti kebijakan pemerintah. Terang saja, bukankah pemerintah menjamin keberagamaan masyarakan Indonesia. Tapi dalam hal ini, penyatuan kebijakan seperti itu yang penulis ekspektasikan. Melalui kewenangannya pemerintah mempersatukan perbedaan yang ada, dan seharusnya beres sudah permasalahan. Seharusnya kebijakan pemerintah diikuti oleh semua umat Islam di Indonesia. Dalam hal ini, isbat pemerintah seharusnya menjadi patokan baik bagi Muhammadiyah, NU, maupun lainnya. Hal ini dikarenakan, perbedaan pendapat merupakan keniscayaan yang hanya bisa diselesaikan dengan keputusan pemerintah. Hukmul hakim ilzamun wayarfa'ul khilaf. Athi'ullaha wa athi'urrasula wa ulil amri minkum. Berdasarkan fatwa MUI pun dijelaskan bahwa umat Islam wajib menaati pemerintah dalam bidang penentuan awal bulan qamariyah.
Akan tetapi, praktiknya Ormas Muhammadiyah tidak mau mengikuti pemerintah, karena tidak dianggap sebagai ulil amri. Dan Ormas NU pun apakah mau mengikuti pemerintah jika pemerintah menentukan awal bulan dengan kriteria Muhammadiyah? wallahu a'lam
Alternatif lain adalah mengedukasi masyarakat akan keniscayaan perbedaan untuk memahami keindahannya. Sehingga perbedaan hari lebaran tidak menimbulkan kekacauan, tetapi saling memahami dan bersatu dalam perbedaan. al-ittifaq fil ikhtilaf. Bhinneka tunggal ika.
Persatuan yang penting adalah persatuan ukhuwwah islamiyyah. Sedang persatuan lebaran dan persatuan tanggal adalah nomor kesekian.
wabillahittaufiq wal hidayah war ridlo wal inayah.
wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar