Halo temen-temen pa kabar.
Al hamdu lillah kabarku baik-baik saja. Aq besok sudah ada yang MID Semester. Aq minta do'a temen-temen, semoga sukses. Ok!
Selamat Datang
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
مرحبا أهلا وسهلا بحضوركم في موقعي هذا. موقع فردي بهيج . موقع الألبّاء
مرحبا أهلا وسهلا بحضوركم في موقعي هذا. موقع فردي بهيج . موقع الألبّاء
Minggu, 19 April 2009
Menggugat landasan ontologis ilmu dakwah sebagai ilmu agama
Ilmu dakwah merupakan ilmu yang baru saja lahir dan terhitung masih muda disbanding dengan ilmu-ilmu yang lain. Dakwah mulai dikaji secara akademik pada tahun 1942 dengan didirikannya jurusan dakwah dengan nama Qismul Wa’dhi wal Irsyad pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo Mesir.
Pada saat itu pengarang buku pertama kali adalah al-Syaikh Ali Machfudh dengan bukunya yang berjudul Hidayatul Mursyidin ila Thuruqil Wa’dhi wal Khithobah. Buku ini diyakini sebagai buku pertama tentang dakwah dalam kajian akademik. Selain buku tersebut, al-Syaikh Ali Machfudh juga mengarang buku-buku lain, termasuk buku al-Khithabah yang mempelajari cara-cara berpidato di depan khalayak umum.
Dalam konteks Indonesia, dakwah mulai dipelajari pada tahun 1970 dengan didirikannya Fakultas Dakwah pada Institut Agama Islam Negeri. Ilmu dakwah mendapat sambutan baik, dengan banyaknya seminar-seminar dan lokakarya yang membahas tentang keilmuan dakwah.
Sebagai Ilmu, dakwah dituntut untuk bisa memenuhi persyaratan-persyaratan ilmu, yaitu terdapat landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan axiologis. Dalam kajian landasan ontologism, suatu ilmu harus memperjelas bidang kajiannya. Bidang kajian ilmu secara umum sangat luas. Bidang yang luas itu lalu menjadi berkapling-kapling sesuai dengan pembagian ilmu. Setiap ilmuan harus memahami bidang kajian ilmu masing-masing. Dalam kaitannya dengan ilmu dakwah, landasan ontologis mencari tahu bidang kajian ilmu dakwah.
Amrullah Ahmad menyatakan bahwa ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu agama. Objek material ilmu dakwah adalah al-Qur’an dan Hadis. Dalam hal ini, ilmu dakwah sama dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dakwah, hadis dakwah, dan lainnya. Ilmu-ilmu keislaman ini memiliki objek material yang juga adalah al-Qur’an dan hadis. Jadi, ilmu dakwah adalah satu rumpun dengan ilmu-ilmu tersebut.
Ketika ilmu dakwah masuk dalam katergori ilmu agama, maka ia bertitik tolak dari al-Qur’an dan hadis melalui pemikiran logis deduktif. Dengan demikian dakwah dianggap kurang mampu mencapai tujuannya. Karena tujuan ilmu dakwah adalah terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sentosa fid dini wad dunya wal akhirah.
Memang diakui al-Qur’an dan hadis merupakan pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan ini, tetapi al-Qur’an dan hadis bukanlah kajian dalam ilmu dakwah, sebagai objek material. Al-Qur’an dan hadis hanya merupakan materi dakwah dan merupakan landasan normatif ilmu dakwah. Sedangkan yang pantas dijadikan objek material ilmu dakwah adalah manusia itu sendiri.
Dari sini, Ilyas Supena mengusulkan adanya perpindahan dari ilmu dakwah sebagai ilmu agama menjadi ilmu dakwah sebagai ilmu sosial Islam. Dengan demikian dakwah memiliki titik tolak dari realitas sosial yang lalu disesuaikan dengan al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, problem-problem masyarakat dapat diusahakan penyelesaiannya melalui ilmu dakwah.
Dengan demikian hakikat ilmu dakwah bukanlah hanya menyampaikan materi dakwah, akan tetapi memberdayakan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang berperilaku secara Islami secara total. Allah ta’ala berfirman:
Pada saat itu pengarang buku pertama kali adalah al-Syaikh Ali Machfudh dengan bukunya yang berjudul Hidayatul Mursyidin ila Thuruqil Wa’dhi wal Khithobah. Buku ini diyakini sebagai buku pertama tentang dakwah dalam kajian akademik. Selain buku tersebut, al-Syaikh Ali Machfudh juga mengarang buku-buku lain, termasuk buku al-Khithabah yang mempelajari cara-cara berpidato di depan khalayak umum.
Dalam konteks Indonesia, dakwah mulai dipelajari pada tahun 1970 dengan didirikannya Fakultas Dakwah pada Institut Agama Islam Negeri. Ilmu dakwah mendapat sambutan baik, dengan banyaknya seminar-seminar dan lokakarya yang membahas tentang keilmuan dakwah.
Sebagai Ilmu, dakwah dituntut untuk bisa memenuhi persyaratan-persyaratan ilmu, yaitu terdapat landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan axiologis. Dalam kajian landasan ontologism, suatu ilmu harus memperjelas bidang kajiannya. Bidang kajian ilmu secara umum sangat luas. Bidang yang luas itu lalu menjadi berkapling-kapling sesuai dengan pembagian ilmu. Setiap ilmuan harus memahami bidang kajian ilmu masing-masing. Dalam kaitannya dengan ilmu dakwah, landasan ontologis mencari tahu bidang kajian ilmu dakwah.
Amrullah Ahmad menyatakan bahwa ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu agama. Objek material ilmu dakwah adalah al-Qur’an dan Hadis. Dalam hal ini, ilmu dakwah sama dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dakwah, hadis dakwah, dan lainnya. Ilmu-ilmu keislaman ini memiliki objek material yang juga adalah al-Qur’an dan hadis. Jadi, ilmu dakwah adalah satu rumpun dengan ilmu-ilmu tersebut.
Ketika ilmu dakwah masuk dalam katergori ilmu agama, maka ia bertitik tolak dari al-Qur’an dan hadis melalui pemikiran logis deduktif. Dengan demikian dakwah dianggap kurang mampu mencapai tujuannya. Karena tujuan ilmu dakwah adalah terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sentosa fid dini wad dunya wal akhirah.
Memang diakui al-Qur’an dan hadis merupakan pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan ini, tetapi al-Qur’an dan hadis bukanlah kajian dalam ilmu dakwah, sebagai objek material. Al-Qur’an dan hadis hanya merupakan materi dakwah dan merupakan landasan normatif ilmu dakwah. Sedangkan yang pantas dijadikan objek material ilmu dakwah adalah manusia itu sendiri.
Dari sini, Ilyas Supena mengusulkan adanya perpindahan dari ilmu dakwah sebagai ilmu agama menjadi ilmu dakwah sebagai ilmu sosial Islam. Dengan demikian dakwah memiliki titik tolak dari realitas sosial yang lalu disesuaikan dengan al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, problem-problem masyarakat dapat diusahakan penyelesaiannya melalui ilmu dakwah.
Dengan demikian hakikat ilmu dakwah bukanlah hanya menyampaikan materi dakwah, akan tetapi memberdayakan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang berperilaku secara Islami secara total. Allah ta’ala berfirman:
Kamis, 02 April 2009
Makanan Rohani
Melihat permen & es krim, anak-anak sering merengek kepada ibunya. walau mungkin 2 jam yang lalu atau berapa menit yang lalu mereka telah "menghilangkan" makanan kesukaan mereka itu. Sifat rakus ini apakah hanya pada makanan jasmani saja? Bukankah rohani juga membutuhkan makanan. Ada nggak sih kerakusan anak-akan akan makanan rohani?
Para orang tua seharusnya menyediakan makanan rohani untuk mengiming-imingi anak mereka. karena makanan inilah yang bermanfaat bagi mereka. Bukulah makanan rohani itu. Seperti halnya makanan jasmani, makanan rohani juga ada yang bergizi ada yang tidak.
Para orang tua seharusnya menyediakan makanan rohani untuk mengiming-imingi anak mereka. karena makanan inilah yang bermanfaat bagi mereka. Bukulah makanan rohani itu. Seperti halnya makanan jasmani, makanan rohani juga ada yang bergizi ada yang tidak.
Q paham dari buku "Mengikat Makna" karya Hernowo.
Langganan:
Postingan (Atom)